Kode Iklan Anda di sini
Sebut saja namaku Neli, usiaku 20 tahun. Aku telah mempunyai seorang pacar bernama Sano. Hubunganku dengan Sano sudah berjalan kira-kira 9 bulan. Waktu yang cukup untuk membuatku mengenalnya lebih dekat.Sano adalah pemuda yang baik dan tampan. Ia juga memiliki karakter yang sangat aku idamkan dari seorang pria. Ia juga sangat ramah namun sedikit tertutup, mungkin karena itulah ia banyak memiliki teman namun hanya memiliki 2 sahabat karib yang selalu menemaninya kemanapun Sano pergi, termasuk saat Sano menyatakan perasaannya kepadaku.
Satu-satunya kekurangan Sano bagiku adalah bahwa ia belum siap menikah, yah usianya baru 22 tahun. Hanya 2 tahun lebih tua dariku. Aku sendiri sama halnya dengan Sano, belum berpikir tentang sebuah pernikahan. Yang sering kami bahas saat kami bersama hanyalah berbicara tentang teman-teman, tentang keluarga kami dan hal-hal lain. Belum pernah sekalipun kami membahas tentang pernikahan.
Namun, ada hal yang kemudian membuatku sungguh miris sekaligus takut. Suatu sore, ayahku memanggilku untuk berbicara di ruang tamu. Di sana sudah ada kakakku Dimas yang duduk di sebelah kiri ayahku. Aku merasa akan ada hal sangat penting yang akan dibahas, tapi tentang apa? apakah tentang hubunganku dengan Sano yang telah diketahui Ayah atau hal lainnya?, aku tak tahu. Aku kemudian duduk dengan hati berdebar, menunggu hal apa yang akan disampaikan ayahku.
"Neli, ayah ingin menyampaikan hal penting sama kamu nak." Terdengat suara ayahku perlahan dengan nada agak berat.
"Iya yah, ada apa yah?, apa Neli ada salah sama ayah?". Jawabku dengan sedikit takut.
"Ayah ingin kami menikah Nak. dengan seseorang yang belum kamu kenal, tapi ayah akan segera mengenalkanmu dengannya besok pagi. Ia pria yang baik dan mapan, ia pantas menjadi suamimu."
Jantungku serasa berhenti berdetak saat mendengar apa yang ayahku katakan. Aku diminta menikah dengan pria yang tak aku kenal sebelumnya. Menikah dengan orang lain sementara aku telah menjalin hubungan dengan Sano, pria yang telah benar-benar mengambil hatiku.
Aku sempat menolak dengan keras kemauan ayah. Namun akhirnya ayah menjelaskan bahwa sebenarnya ayah menjodohkanku dengan pria itu karena ayah memiliki hutang kepada orangtuanya yang merupakan rekan bisnis ayah. Dengan kata lain, hutang itu akan dianggap lunas jika aku mau menikah dengan anak rekan bisnis ayah tersebut.
Paginya pria itu benar-benar datang ke rumahku didampingi orangtuanya; rekan bisnis ayahku. Demi membantu masalah ayahku, aku tak banyak bicara dan hanya diam saat mereka bicara. Sesekali aku harus tersenyum saat mereka menyapa dan mengajukan beberapa pertanyaan kepadaku.
Hari itu, tanggal pernikahan kami langsung ditentukan. Astaga, bagaimana ini. Bagaimana caraku menjelaskan hal ini kepada Sano. Apa reaksinya nanti saat ia tahu bahwa aku akan segera menikah dengan pria lain. Ah, ini sungguh berat buatku.
Akhirnya, hari pernikahan itupun tiba. Orangtuaku membuat pesta pernikahan yang meriah. Dan sungguh, sampai saat itu aku belum menceritakan yang sebenarnya terjadi kepada Sano. Aku dan Sano belum bertemu selama 3 minggu ini, tepatnya setelah aku diberitahu ayahku bahwa aku akan dinikahkan dengan orang lain sore itu.
Teman-teman Sano hanya sedikit yang datang ke pestaku pernikahanku. Sangat mungkin mereka marah dan benci padaku. Aku tahu bahwa mereka pasti sangat bersimpati kepada Sano yang telah aku tinggalkan. Kini aku duduk di pelaminan yang indah dengan hati yang pedih. Aku harus tersenyum di hadapan tamu-tamu yang mengucapkan selamat, yang bagiku terdengar seperti doa-doa kepahitan.
Saat tamu yang datang sudah agak sepi, aku meminta kepada perias pengantin untuk melepas baju pengantin dan riasanku lebih awal. Aku ingin masuk kamar, aku tak mau lagi dilihat orang banyak, meskipun aku tak tahu akan akan melakukan apa di kamar.
Di kamarku yang kini penuh dengan hiasan dan rangkaian bunga melati, perias pengantin tengah melepas baju dan hiasanku. Tiba-tiba, ada yang mengetuk pintu kamar, rupanya temanku Sely yang datang. Ia mengatakan bahwa di luar ada Sano yang datang ingin bertemu.
Astaga. bagaimana ini.. entahlah, aku sampaikan saja kepada Sely agar Sano menemuiku di kamar. Sebentar kemudian, Sano telah masuk ke kamar ditemani Sely. Ia tak berkata apa-apa, hanya tersenyum kepadaku dan menjabat tanganku lama dan erat. Akupun rasanya tak ingin melepaskan genggaman tanggannya.
Setelah itu Sano menarik tangannya dariku. Ada sesuatu yang aku rasakan digenggaman tanganku; sebuah surat. Aku melihatnya selintas, dan segera kukatakan kepada Sano bahwa suamiku ada diluar. Sano pun segera keluar kamar menemui dan menyalami pria yang kini menyandang status sebagai suamiku.
Kubuka surat beramplop biru langit dengan gambar dua hati itu. Sebuah surat dengan tulisan tangan yang rapi; tulisan Sano.
"Berbahagialah apapun itu. Karena aku telah mencintaimu dan akan selalu mencintaimu"
Ternyata isi surat itu hanya berisi beberapa kata saja, namun itu sanggup membuat air mataku mengalir deras tak terbendung. Terbayang wajah Sano yang tampan, senyumnya yang menyejukkan, tatap matanya yang hangat. kata-katanya yang lembut. Oh Tuhan, aku sangat mencintainya.
Malam itu, malam yang seharusnya menjadi malam pertamaku, berubah menjadi pertengkaran antara aku dan suamiku. Aku akhirnya dengan segenap keberanian mengatakan padanya bahwa aku tak ingin melalui malam pertama dengannya, tak ingin bercinta dengannya dan bahwa aku tak bisa mencintainya.
Sahabat remaja juga bisa membaca artikel : Saat Aku Jatuh Cinta Pada Adik Temanku
Pagi harinya, pria yang baru saja, tepatnya sejak kemarin siang resmi menjadi suamiku itu menceraikan aku. Ya, inilah akhir dari pernikahanku dengan pria itu, anak dari rekan bisnis ayahku. Aku berdoa semoga ia mendapatkan gadis yang lebih baik dariku; gadis yang tak bisa mencintai yang lain selain Sano.
Kode Iklan Anda di sini
Terima kasih telah membaca artikel di DuniaRemaja.xyz. Silahkan tinggalkan komentar sahabat. Komentar berisi link dan promosi produk tidak akan ditampilkan.